Jumat, 18 April 2014

PERANG ACEH (perang Belanda di Aceh)

PERANG ACEH, sebagai Perang di Jalan Allah1873-1812
Oleh : Oga Umar Dhani

A.    PERANG DI JALAN ALLAH (Perang Aceh 1873-1812)
Perang Kerajaan Belanda dengan Keranjaan Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 sd 1912 merupakan perang yang terbesar dan terlama yang dialami pemerintah Hindia Belanda di Indonesia. Pasukan Belanda sangat berambisi untuk menduduki Aceh yang merupakan satu-satunya daerah di Sumatera yang belum dikuasainya dan Belanda juga khawatir kalau daerah Aceh duluan mendapat pengaruh asing dari bangsa Eropa.Yang menarik dari tema Perang Di Jalan Allah adalah menggambarkan bagaimana semangat rakyat Aceh yang sulit dimengerti oleh Belanda dalam mempertahankan daerah kedaulatannya. Dengan semangat perang sabil yang dikobarkan oleh ulama-ulama Aceh maka rakyat Aceh dengan semangat pantang menyerah dan tidak takut akan mati ditembus  peluru Belanda membuat Belanda harus berpikir khusus untuk dapat menaklukkan Aceh seutuhnya.  Semangat ini timbul karena Rakyat beranggapan perang ini merupakan perang kewajiban bagi setiap umat islam dalam membela agama Allah SWT. Kalaupun mareka mati maka matinya syahid di jalan Allah SWT.  Dengan adanya perang tersebut maka rakyat Aceh tidak hanya mempertahankan Negeri namun  juga Agama dan timbul semangat kesadaran akan keacehannya.
Dengan didahului sebuah ultimatum perang oleh Belanda terhadap kerajaan Aceh pada tanggal 26 Maret 1873, perang Belanda di Aceh dimulai. Rakyat menganggap perang yang dilancarkan Belanda terhadap Kerajaan Aceh sebagai bahaya yang merusak tata kehidupan masyarakat dan nilai keagamaan. Karena bagi orang Aceh, Belanda merupakan Kafir yang mengancam kedaulatannya. Rakyat Aceh menghadapi agresi Belanda ini dengan manifestasi kolektif melalui bentuk perlawanan bersenjata yang merupakan perang terlama yang dialami oleh Hindia Belanda di Indonesia.
Berdasarkan kitab Tadkhirat al- Rakidin yang ditulis oleh Syeh Abbas Ibnu Muhammad alias Tgk Chiek Kutakarang, masyarakat Aceh diakhir abad ke 19 ada dua jenis kepemimpinan yang berlaku di Aceh yaitu pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat yaitu Sultan serta para kerabat yang membantunya dan Ulebalang yang memerintah di daerah-daerah. Sedangkan pemimpin agama adalah ulama atau guru-guru agama. Sistem kekuasaan kerajaan Aceh selain berada langsung di bawah kekuasaan Sultan juga terdiri dari tiga pembagian yaitu daerah tiga mukim ( mukimXXII, mukim XXV dan mukim XXVI), daerah taklukan diluar Aceh Besar, dan daerah yang jauh dari pedalaman. Sultan memberikan kekuasaan kepada Ulebalang-ulebalang daerah untuk memerintah sesuai adat daerahnya, namun tetap membayar upeti kepada Sultan. Kerajaan Aceh diakhir abad ke 19 bukan suatu pemerintahan sentral yang kuat. Kerena karena di aderah-daerah terjadi perang Pageue yaitu perang memperebutkan wilayah antara Ulebalang-ulebalang daerah.

B.     Jalannya perang
Dalam Kancah Peperangan ( 1873-1812) Sebelum terjadi perang Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Inggris pada tahun 1824 telah menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal Traktat London yang isinya Belanda mengakui kedaulatan Aceh sebagai bangsa yang merdeka. Namun pada tahun 1858 Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan sultan Siak, isi perjanjian itu sultan Siak mengakui kedaulatan Belanda di daerahnya yang pada dasarnya daerah kekuasaan sultan Siak merupakan daerah takluk Aceh, yang mewajibkan membayar upeti ke kerajaan Aceh. Pada tahun 1871 Belanda dan Keraajaan Inggris menandatangani sebuah Perjanjian yang disebut Traktat Sumatera yang isinya Belanda bebas memperluaskan kekuasaan di Pulau Sumatera. Kerajaan Aceh merasa terancam dengan adanya Traktat Sumatera tersebut, maka Kerajaan Aceh mencari dukungan ke Negeri-negeri sahabat seperti Turky, Singapura, Inggris, Amerika,dan Italia. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda memberikan ultimatum Perang kepada Kerajaan Aceh, dengan demikian perang terlama di Indonesia antara Belanda dan Kerajaan Aceh dimulai. Peperangan Aceh dibagi dalam dua masa yaitu :
1. Masa Bertahan 1873 – 1875, setelah belanda mendarat pertama kali di Aceh pada tanggal 8 April 1873 di bawah pimmpinan J. H. Kohler, karena kuatnya perlawanan rakyat Aceh dengan mengumandangkan kalimah “Laila Haillah” maka pada tanggal 14 April 1873 J. H. Kohler tewas, maka Belanda pun pada taggal 29 April 1873 meninggalkan Aceh dengan membawa kekalahan. Setelah itu pada bulan November dilakukan serangan kedua dibawah pimpinan J. Van Switen yang berasil memukul mundur pasukan Aceh dari Keraton dan menduduki Mesjid Raya. Kemudian pada tanggal 29 Januari 1874 Sultan Muhmud Syah meninggal Karena Penyakit Kolera yang dimakamkan di Cot Banda.
2. Masa Perang Rakyat 1876-1869, setelah terjadi kosongan kepemimpianan masyarakat aceh melawan dibawah komando Ulebalang-ulebalang, walaupu sultan Muda Muhammad Daud Syah sudah dinobatkan menjadi sultan karena usianya belum dewasa maka kekuasaan walikan oleh Tuanku Hasyim. Peperangan di lanjutkan oleh Uleebalang-uleebalang di daerah dan ulama.
            Selama perang berlangsung ulama maupun Uleebalang tidak henti-hentinya memberikan pencerahan akan pentingnya berperang dengan Belanda, memerangi kafir fardhu i’n oleh karena itu setiap orang Aceh baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak selagi masih menganut agama Islam diwajibkan atasnya berperang dengan Belanda dan bagi mareka yang tidak terlibat langsung maka dianjurkan untuk memberikan bantuan dana untuk perang. Untuk membangkitkan semangat perang para cendikiawan yang mahir dalam bidang sastra membacakan Hikayat-hikayat Perang Sabil, seperti yang ditulis oleh Tgk. Nyak Ahmad. Dalam Hikayat-hikayat tersebut juga dimasukkan cerita-cerita peperangan masa Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai contoh bahwa perang sabil merupakan perang yang mulia.
Ulama Memobilisasi Kekuatan dengan penyebaran ideologi perang sabil, para ulama menguatkan masyarakat untuk menjadi lebih kuat dalam menghadapi musuh. Para ulama menanamkan ideologi berlandaskan pada Firman ALLAH. Para ulama merangkul pengikutnya dengan pusat pengajian atau dayah sebagai tempat belajar dan mengatur strategi melawan Belanda. Seperti Tgk. Chik Di Tiro strategi yang dilakukan dalam penyebaran ideologi perang sabil melalui khotbah-khotbah agar membuat rakyat aceh mau untuk melawan Belanda (kaphe) dengan jalan perang Fisabillah. Ia juga mempunyai taktik agar Belanda mau berdamai dengan Aceh. Selain mengirim surat kepada Belanda Tgk. Chik Di Tiro juga mengirim surat kepada para Uleebalang yang telah mengakui kedaulatan Belanda untuk kembali berpihak kepada Aceh. Dan Tgk. Chik Kutakarang mengajarkan kepada para pengikutnya, jika dalam berperang bila musuh yang menggunakan senjata maka kita juga harus menggunakan senjata yang sama pula dengan apa yang digunakan oleh musuh kita. Perkataannya ternyata diindahkan oleh pengikutnya hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh pengikutnya melakukan penyerangan terhadap pos-pos Belanda seperti pada 24 April 1877 dan Maret 1878 para pejuang Aceh menyerang dan membawa lari senjata-senjata milik Belanda. Tgk. Tapa merupakan salah satu ulama yang berperang di jalan Allah SWT. Salah satu perlawanan yang dilakukannya terjadi pada 16 Juli 1898 terjadi kontak senjata dengan Belanda namun pasukan Tgk Tapa  kalah dan mengundurkan diri  ke bagian tanah Gayo kemudian pada awal 1900 Tgk. Tapa beserta pengikutnyan kembali melakukan perlawanan namun ia tewas beserta pengikutnya.

Dana perang sabil ini didapatkan dari zakat para muslim diseluruh Aceh yang dikumpulkan oleh para Ulama. Para Ulama menyampaikan hal itu melalui khotbah dan tulisan agar umat muslim membayar zakat yang merupakan rukun Islam hal tersebut juga diperjelas dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 43 dan surat Al-Taubah ayat 103. Zakat yang dikumpulakan ini bukan hanya dari para ulama saja melaikan dari para pembantu ulama dan pemimpin adat.
Dilanda Kekalahan Pada bulan Mei 1896 terjadi pertempuran antara mukim VI T. Umar dengan Belanda memperebutkan benteng yang dikuasai oleh T. Umar. kekalahan yang dialami Aceh adalah ketika penyerangan tiba-tiba yang dilakukan Belanda pada 28 Juni 1896 di Benteng Aneuk Galong serangan ini merupakan serangan yang sukses bagi Belanda karena banyak menggugurkan pejuang Aceh dan pertempuran ini sangat merugikan pihak Aceh, sistem pertahana konsentrasi yang dianut Belanda sejak 1884 diganti dengan sistem agresi. Pada 21 Juni 1896 Belanda berhasil menyergap T. Nyak Makam, Belanda memutuskan untuk mengeksekusi dengan memenggal kepala T. Nyak Makam dan menggaraknya sebagai bukti kemenangannya.
     Pihak Aceh terus mendapat pukulan dari pihak Belanda setelah Keumala Dalam dapat dikuasai Belanda pada 22 Agustus 1898 T. Umar yang dapat bertahan di pedalaman Tangse mengundurkan diri ke Aceh Barat dan akhirnya tewas pada 10 Februari 1899. Selain peperangan atas anjuran Snouck Hurgronje Belanda memakai politik sandra untuk mengalahkan pihak Aceh hal ini berhasil terbukti dengan menyerahnya Sultan dan T. Panglima Polem. Hal lain yang membuat Aceh terpuruk dalam kekalahan adalah 82 dari 100 Uleebalang mengakui kedaulatan Belanda dengan menandatangani Korte Verklaring.
     Banyak terjadi perlawanan namun gagal, hal lain yang membuat kekalahan Aceh adalah banyak pemimpin-pemimpin pejuang Aceh yang satu persatu tewas dan menyerahkan diri sehingga semakin sedikit gerakan melawan Belanda.

·         Ibrahim Alfian. 1987. Perang di jalan Allah, perang aceh 1873-1921.Pustaka Sinar Harapa. Jakarta.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar