Sabtu, 03 Mei 2014

SEJARAH ACEH TIDAK KALAH DAN TIDAK MENANG, sampai kapan ?


Oleh : Oga Umar Dhani

            Dalam sejarah banyak pergelokan yang terjadi di Aceh, baik dari masa masih sebagai sebuah Kerajaan yang merdeka maupun ketika di dalam negara yang merdeka, Indonesia. Dimasa Aceh masih sebuah kerajaan yang merdeka maka pihak luar mengingikan manguasai Aceh, khususnya Belanda yang sangat berambisi untuk menaklukkan Aceh. Setelah Aceh merdeka dibawah naungan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan pergolakan Aceh juga tidak berhenti, Aceh masih berjuang melawan ketidak adilan seperti DI/TII pada tahun 1956 maupun GAM pada tahun 1976. Kesemua perjuangan tersebut Aceh setidaknya mengalami nasib yang sama yaitu tidak menang dan tidak kalah.

Perlawanan Terhadap Belanda


            Pada masa pergelokan perjuangan rakyat Aceh pada tahun 1873 melawan serangan Belanda, Aceh menghimpun seluruh kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaannya. Aceh telah dijadikan sasaran utama penaklukkan Belanda diakhir abad ke 19. Hal ini terjadi karena pada akhir abad ke 19 hanya Aceh yang belum dikuasai oleh Belanda. Belanda berusaha keras untuk menaklukkan Aceh, karena Belanda tidak menginginkan Aceh mendapat pangaruh dari negara-negara eropa lainnya.
Perang aceh dengan Belanda tersebut tidak bisa di ambil sebuah kesimpulan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Walaupun Belanda mengatakan Aceh telah takluk pada tahun 1904 karena Sultan tertangkap, namun perjuangan rakyat Aceh masih terjadi hingga Jepang datang. Jikapun dikatakan Aceh menang melawan dan mengusir Belanda itu juga tidak kuat untuk diungkapkan. Buktinya Belanda pada tahun 1912 sudah mempunyai birokrasi yang jelas di Kutaraja. Belanda pergi dari Aceh juga bukan karena kerasnya perlawanan Aceh melainkan karena datangnya Jepang untuk menguasai Asia. Jadi dapat disimpulkan perlawan rakyat Aceh terhadap Belanda tidak mengalami kekalahan maupun kemenangan.

Perlawanan Terhadap Jepang


Setelah Belanda pergi pada tahun 1942, Aceh juga memiliki musuh baru untuk diperangi yaitu Jepang. Walaupun pada awalnya Jepang datang ke Aceh difasilitasi oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tetapi karena adanya pengkhianatan dan juga terjadinya perbedaan pemahaman dan budaya maka Jepang menurut orang Aceh juga harus di usir dari bumi serambi mekkah ini. Maka dikalangan rakyat muncul sepenggal kata “Talet asee ta teurimeng bui” kita kejar anjing kita terima babi. Anjing diumpamakan untuk Belanda dan jepang di ibaratkan Babi.
Semenjak itu rakyat Aceh dibawah komando ulama berusaha berusaha mengusir Jepang dari Aceh, tetapi Jepang pada tahun 1945 juga harus hengkang dari Aceh dikarenakan negaranya dibom bardir oleh sekutu. Yang dikenal sebagai bom atom pertama di dunia yaitu di Nagasaki dan Hirosima yang bertepatan pada tanggal 6 dan 9 Agustus. Dengan demikian kemenangan Aceh terhadap Jepang juga bukan mutlak kemengan sendiri. Aceh hanya menerima kekalahan Jepang terhadap sekutu sama seperti daerah-daerah di Indonesia pada umumnya.

Setelah Indonesia Merdeka


            Setelah Jepang kalah dan angkat kaki dari Aceh dan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, maka dari pihak Intelektual Indonesia berusaha memploklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka karena pada waktu itu Hindia Belanda terjadi kekosongan kepemimpinan. Sukarno berusaha menggabungkan seluruh negeri bekas jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah negara yang merdeka. Dan Aceh juga termasuk didalamnya.
            Sukarno mendatangi Aceh yang pada waktu itu dibawah kepemimpian Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai pimpinan PUSA. Aceh bersedia bergabung dengan Indonesia jika setelah Indonesia merdeka yang diterapkan sebagai dasar negara adalah Islam. Pada waktu itu Sukarno juga menyanggupi apa yang diinginkan Tgk. M. Daud Beureueh. Karena janji tersebut pula Aceh bersedia menyumbang untuk negara Indonesia sehingga bisa membeli dua pesawat terbang yang kini cikal bakal menjadi Garuda Indonesia.

            Namun apa hendak dikata janji yang dulunya ditepati kemudian diingkari, yang rakyat Aceh sering menyebutnya Aceh sudah dikhianati Sukarno. Yang tidak kalah menyakitkan lagi adalah digabungkannya Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara, Aceh hanya dianggap sebagai sebuah keresidenan dari Sumatera Utara. Karena merasa dikhianati maka rakyat Aceh dibawah pimpinanan Tgk. M. Daud Bereueh pada tahun 1956 menggabungkan kedalam NII dibawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan di Aceh sendiri disebut DI/TII.
            Pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatannya untuk memerangi pemberontakan tersebut, dikarenakan perjuangan Aceh juga kuat maka usaha Indonesia untuk membasmi DI/TII juga tidak berhasil. Indonesia hanya mampu membawa persoalan DI/TII ke meja perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Lamteh pada tahun 1962. Aceh pada waktu itu sudah diberi kembali kehormatannya sebagai sebuah daerah yang istimewa di dalam negara kesatuan Indonesia.
            Dengan berakhirnya pergolakan tersebut di meja perundingan maka Aceh dapat dikatakan tidak menang dalam peperangan dengan Indonesia, dan juga tidak bisa dikatakan kalah karena dari Indonesia sendiri tidak berhasil membasmi pemberontakan Aceh yang hanya mampu membawa ke meja perundingan.

Pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)


            Empat belas tahun setelah berakhirnya perlawanan DI/TII, Hasan Muhammad Di Tiroe juga memproklamirkan Aceh merdeka tepatnya pada tanggal 4 Desember 1976. Perjuangan ini tidak hanya menuntut kesejahteraan tetapi sudah lebih ekstrim dari itu. Aceh mengingikan lepas dari Indonesia dalam artian merdeka. Perjuangan ini sudah memasuki tahap baru dalam mendirikan sebuah negara, pihak GAM tidak hanya berjuang berperang di Aceh tetapi juga dilakukan perjuangan diplomasi di luar negeri.
            Menyikapi hal ini pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, langkah-langkah untuk meredam pemberontakan Aceh dilaksanakan. Ini terbukti dengan diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh pada masa Suharto hingga DM (Darurat Militer) pada masa kepemimpinan Megawati sebagai Presiden Indonesia. Kedua kebijakan ini tidak hanya memerangi GAM tetapi juga membuat rakyat Aceh mangalami kesengsaraan baik itu mental, pemerkosaan, pembunuhan terhadap rakyat sipil maupun pelangaran HAM lainnya.
            Tiga puluh tahun lamanya GAM memperjuangkan kemerdekaan Aceh, namun nyatanya permasalah Aceh juga berakhir di meja perundingan. Yang menjadikan kesepakatan bersama antara Aceh dan Indonesia yang dituangklan dalam MoU Helsingki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan lahirnya perdamaian ini maka Aceh kembali merasakan seperti yang sebelumnya. Aceh tidak menang dan juga tidak kalah. Aceh diberi kebebasan membuat partai lokal dan juga hak otonomi khusus dan banyak lagi kesepakatn-kesepakatan yang dilahirkan dari MoU tersebut.

            Kini Aceh tidak lagi memberontak, tidak lagi menuntut kemerdekaan tetapi hanya memperjuangkan kesejahteraan. Aceh telah diberi hak berpolitik dalam partai lokal maupun partai nasional. Tugas generasi Aceh sekarang adalah memperjuangkan apa yang telah disepakati bersama dalam MoU, yang tujuan utamanya tentu untuk kesejahteraan bersama rakyat Aceh. Jangan sampai kejadian tidak kalah dan tidak menang juga terulang kembali didalam berpolitik yang telah diberi kebebasan untuk Aceh.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar