PERANG ACEH,
sebagai Perang di Jalan Allah1873-1812
Oleh : Oga Umar Dhani
Perang Kerajaan Belanda dengan
Keranjaan Aceh yang berlangsung dari tahun 1873 sd 1912 merupakan perang yang
terbesar dan terlama yang dialami pemerintah Hindia Belanda di Indonesia.
Pasukan Belanda sangat berambisi untuk menduduki Aceh yang merupakan
satu-satunya daerah di Sumatera yang belum dikuasainya dan Belanda juga
khawatir kalau daerah Aceh duluan mendapat pengaruh asing dari bangsa
Eropa.Yang menarik dari tema Perang Di Jalan Allah adalah menggambarkan
bagaimana semangat rakyat Aceh yang sulit dimengerti oleh Belanda dalam
mempertahankan daerah kedaulatannya. Dengan semangat perang sabil yang
dikobarkan oleh ulama-ulama Aceh maka rakyat Aceh dengan semangat pantang
menyerah dan tidak takut akan mati ditembus
peluru Belanda membuat Belanda harus berpikir khusus untuk dapat
menaklukkan Aceh seutuhnya. Semangat ini
timbul karena Rakyat beranggapan perang ini merupakan perang kewajiban bagi
setiap umat islam dalam membela agama Allah SWT. Kalaupun mareka mati maka
matinya syahid di jalan Allah SWT.
Dengan adanya perang tersebut maka rakyat Aceh tidak hanya
mempertahankan Negeri namun juga Agama
dan timbul semangat kesadaran akan keacehannya.
Dengan didahului sebuah
ultimatum perang oleh Belanda terhadap kerajaan Aceh pada tanggal 26 Maret
1873, perang Belanda di Aceh dimulai. Rakyat menganggap perang yang dilancarkan
Belanda terhadap Kerajaan Aceh sebagai bahaya yang merusak tata kehidupan
masyarakat dan nilai keagamaan. Karena bagi orang Aceh, Belanda merupakan Kafir
yang mengancam kedaulatannya. Rakyat Aceh menghadapi agresi Belanda ini dengan
manifestasi kolektif melalui bentuk perlawanan bersenjata yang merupakan perang
terlama yang dialami oleh Hindia Belanda di Indonesia.
Berdasarkan kitab
Tadkhirat al- Rakidin yang ditulis oleh Syeh Abbas Ibnu Muhammad alias Tgk
Chiek Kutakarang, masyarakat Aceh diakhir abad ke 19 ada dua jenis kepemimpinan
yang berlaku di Aceh yaitu pemimpin adat dan pemimpin agama. Pemimpin adat
yaitu Sultan serta para kerabat yang membantunya dan Ulebalang yang memerintah
di daerah-daerah. Sedangkan pemimpin agama adalah ulama atau guru-guru agama.
Sistem kekuasaan kerajaan Aceh selain berada langsung di bawah kekuasaan Sultan
juga terdiri dari tiga pembagian yaitu daerah tiga mukim ( mukimXXII, mukim XXV
dan mukim XXVI), daerah taklukan diluar Aceh Besar, dan daerah yang jauh dari
pedalaman. Sultan memberikan kekuasaan kepada Ulebalang-ulebalang daerah untuk
memerintah sesuai adat daerahnya, namun tetap membayar upeti kepada Sultan. Kerajaan
Aceh diakhir abad ke 19 bukan suatu pemerintahan sentral yang kuat. Kerena
karena di aderah-daerah terjadi perang Pageue yaitu perang memperebutkan
wilayah antara Ulebalang-ulebalang daerah.
B. Jalannya
perang
Dalam Kancah Peperangan (
1873-1812) Sebelum terjadi perang Kerajaan Belanda dengan Kerajaan Inggris pada
tahun 1824 telah menandatangani sebuah perjanjian yang dikenal Traktat London
yang isinya Belanda mengakui kedaulatan Aceh sebagai bangsa yang merdeka. Namun
pada tahun 1858 Belanda menandatangani sebuah perjanjian dengan sultan Siak, isi
perjanjian itu sultan Siak mengakui kedaulatan Belanda di daerahnya yang pada
dasarnya daerah kekuasaan sultan Siak merupakan daerah takluk Aceh, yang
mewajibkan membayar upeti ke kerajaan Aceh. Pada tahun 1871 Belanda dan
Keraajaan Inggris menandatangani sebuah Perjanjian yang disebut Traktat
Sumatera yang isinya Belanda bebas memperluaskan kekuasaan di Pulau Sumatera.
Kerajaan Aceh merasa terancam dengan adanya Traktat Sumatera tersebut, maka
Kerajaan Aceh mencari dukungan ke Negeri-negeri sahabat seperti Turky,
Singapura, Inggris, Amerika,dan Italia. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda memberikan
ultimatum Perang kepada Kerajaan Aceh, dengan demikian perang terlama di
Indonesia antara Belanda dan Kerajaan Aceh dimulai. Peperangan Aceh dibagi
dalam dua masa yaitu :
1.
Masa Bertahan 1873 – 1875, setelah belanda mendarat pertama kali di Aceh pada
tanggal 8 April 1873 di bawah pimmpinan J. H. Kohler, karena kuatnya perlawanan
rakyat Aceh dengan mengumandangkan kalimah “Laila Haillah” maka pada tanggal 14
April 1873 J. H. Kohler tewas, maka Belanda pun pada taggal 29 April 1873
meninggalkan Aceh dengan membawa kekalahan. Setelah itu pada bulan November
dilakukan serangan kedua dibawah pimpinan J. Van Switen yang berasil memukul
mundur pasukan Aceh dari Keraton dan menduduki Mesjid Raya. Kemudian pada
tanggal 29 Januari 1874 Sultan Muhmud Syah meninggal Karena Penyakit Kolera
yang dimakamkan di Cot Banda.
2.
Masa Perang Rakyat 1876-1869, setelah terjadi kosongan kepemimpianan masyarakat
aceh melawan dibawah komando Ulebalang-ulebalang, walaupu sultan Muda Muhammad
Daud Syah sudah dinobatkan menjadi sultan karena usianya belum dewasa maka
kekuasaan walikan oleh Tuanku Hasyim. Peperangan di lanjutkan oleh
Uleebalang-uleebalang di daerah dan ulama.
Selama
perang berlangsung ulama maupun Uleebalang tidak henti-hentinya memberikan pencerahan
akan pentingnya berperang dengan Belanda, memerangi kafir fardhu i’n oleh
karena itu setiap orang Aceh baik laki-laki, perempuan, maupun anak-anak selagi
masih menganut agama Islam diwajibkan atasnya berperang dengan Belanda dan bagi
mareka yang tidak terlibat langsung maka dianjurkan untuk memberikan bantuan
dana untuk perang. Untuk membangkitkan semangat perang para cendikiawan yang
mahir dalam bidang sastra membacakan Hikayat-hikayat Perang Sabil, seperti yang
ditulis oleh Tgk. Nyak Ahmad. Dalam Hikayat-hikayat tersebut juga dimasukkan
cerita-cerita peperangan masa Nabi Muhammad untuk dijadikan sebagai contoh
bahwa perang sabil merupakan perang yang mulia.
Ulama Memobilisasi Kekuatan dengan
penyebaran ideologi perang sabil, para ulama menguatkan masyarakat untuk
menjadi lebih kuat dalam menghadapi musuh. Para ulama menanamkan ideologi
berlandaskan pada Firman ALLAH. Para ulama merangkul pengikutnya dengan pusat
pengajian atau dayah sebagai tempat belajar dan mengatur strategi melawan
Belanda. Seperti Tgk. Chik Di Tiro strategi yang dilakukan dalam penyebaran
ideologi perang sabil melalui khotbah-khotbah agar membuat rakyat aceh mau
untuk melawan Belanda (kaphe) dengan jalan perang Fisabillah. Ia juga mempunyai
taktik agar Belanda mau berdamai dengan Aceh. Selain mengirim surat kepada
Belanda Tgk. Chik Di Tiro juga mengirim surat kepada para Uleebalang yang telah
mengakui kedaulatan Belanda untuk kembali berpihak kepada Aceh. Dan Tgk. Chik
Kutakarang mengajarkan kepada para pengikutnya, jika dalam berperang bila musuh
yang menggunakan senjata maka kita juga harus menggunakan senjata yang sama
pula dengan apa yang digunakan oleh musuh kita. Perkataannya ternyata diindahkan
oleh pengikutnya hal ini terbukti dengan apa yang dilakukan oleh pengikutnya
melakukan penyerangan terhadap pos-pos Belanda seperti pada 24 April 1877 dan
Maret 1878 para pejuang Aceh menyerang dan membawa lari senjata-senjata milik
Belanda. Tgk. Tapa merupakan salah satu ulama yang berperang di jalan Allah
SWT. Salah satu perlawanan yang dilakukannya terjadi pada 16 Juli 1898 terjadi
kontak senjata dengan Belanda namun pasukan Tgk Tapa kalah dan mengundurkan diri ke bagian tanah Gayo kemudian pada awal 1900
Tgk. Tapa beserta pengikutnyan kembali melakukan perlawanan namun ia tewas beserta
pengikutnya.
Dilanda Kekalahan Pada bulan Mei
1896 terjadi pertempuran antara mukim VI T. Umar dengan Belanda memperebutkan
benteng yang dikuasai oleh T. Umar. kekalahan yang dialami Aceh adalah ketika
penyerangan tiba-tiba yang dilakukan Belanda pada 28 Juni 1896 di Benteng Aneuk
Galong serangan ini merupakan serangan yang sukses bagi Belanda karena banyak
menggugurkan pejuang Aceh dan pertempuran ini sangat merugikan pihak Aceh, sistem
pertahana konsentrasi yang dianut Belanda sejak 1884 diganti dengan sistem
agresi. Pada 21 Juni 1896 Belanda berhasil menyergap T. Nyak Makam, Belanda
memutuskan untuk mengeksekusi dengan memenggal kepala T. Nyak Makam dan
menggaraknya sebagai bukti kemenangannya.
Pihak
Aceh terus mendapat pukulan dari pihak Belanda setelah Keumala Dalam dapat
dikuasai Belanda pada 22 Agustus 1898 T. Umar yang dapat bertahan di pedalaman
Tangse mengundurkan diri ke Aceh Barat dan akhirnya tewas pada 10 Februari
1899. Selain peperangan atas anjuran Snouck Hurgronje Belanda memakai politik
sandra untuk mengalahkan pihak Aceh hal ini berhasil terbukti dengan menyerahnya
Sultan dan T. Panglima Polem. Hal lain yang membuat Aceh terpuruk dalam
kekalahan adalah 82 dari 100 Uleebalang mengakui kedaulatan Belanda dengan
menandatangani Korte Verklaring.
Banyak
terjadi perlawanan namun gagal, hal lain yang membuat kekalahan Aceh adalah
banyak pemimpin-pemimpin pejuang Aceh yang satu persatu tewas dan menyerahkan
diri sehingga semakin sedikit gerakan melawan Belanda.
·
Ibrahim Alfian. 1987.
Perang di jalan Allah, perang aceh 1873-1921.Pustaka Sinar Harapa. Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar