Oleh : Oga Umar Dhani
Dalam sejarah banyak pergelokan yang
terjadi di Aceh, baik dari masa masih sebagai sebuah Kerajaan yang merdeka
maupun ketika di dalam negara yang merdeka, Indonesia. Dimasa Aceh masih sebuah
kerajaan yang merdeka maka pihak luar mengingikan manguasai Aceh, khususnya
Belanda yang sangat berambisi untuk menaklukkan Aceh. Setelah Aceh merdeka
dibawah naungan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan pergolakan Aceh juga
tidak berhenti, Aceh masih berjuang melawan ketidak adilan seperti DI/TII pada
tahun 1956 maupun GAM pada tahun 1976. Kesemua perjuangan tersebut Aceh
setidaknya mengalami nasib yang sama yaitu tidak menang dan tidak kalah.
Perlawanan Terhadap Belanda
Pada masa pergelokan perjuangan
rakyat Aceh pada tahun 1873 melawan serangan Belanda, Aceh menghimpun seluruh
kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaannya. Aceh telah dijadikan sasaran
utama penaklukkan Belanda diakhir abad ke 19. Hal ini terjadi karena pada akhir
abad ke 19 hanya Aceh yang belum dikuasai oleh Belanda. Belanda berusaha keras
untuk menaklukkan Aceh, karena Belanda tidak menginginkan Aceh mendapat
pangaruh dari negara-negara eropa lainnya.
Perang
aceh dengan Belanda tersebut tidak bisa di ambil sebuah kesimpulan tentang
siapa yang menang dan siapa yang kalah. Walaupun Belanda mengatakan Aceh telah
takluk pada tahun 1904 karena Sultan tertangkap, namun perjuangan rakyat Aceh
masih terjadi hingga Jepang datang. Jikapun dikatakan Aceh menang melawan dan
mengusir Belanda itu juga tidak kuat untuk diungkapkan. Buktinya Belanda pada
tahun 1912 sudah mempunyai birokrasi yang jelas di Kutaraja. Belanda pergi dari
Aceh juga bukan karena kerasnya perlawanan Aceh melainkan karena datangnya
Jepang untuk menguasai Asia. Jadi dapat disimpulkan perlawan rakyat Aceh
terhadap Belanda tidak mengalami kekalahan maupun kemenangan.
Perlawanan Terhadap Jepang
Setelah
Belanda pergi pada tahun 1942, Aceh juga memiliki musuh baru untuk diperangi
yaitu Jepang. Walaupun pada awalnya Jepang datang ke Aceh difasilitasi oleh
PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tetapi karena adanya pengkhianatan dan juga
terjadinya perbedaan pemahaman dan budaya maka Jepang menurut orang Aceh juga
harus di usir dari bumi serambi mekkah ini. Maka dikalangan rakyat muncul sepenggal
kata “Talet asee ta teurimeng bui” kita
kejar anjing kita terima babi. Anjing diumpamakan untuk Belanda dan jepang
di ibaratkan Babi.
Semenjak
itu rakyat Aceh dibawah komando ulama berusaha berusaha mengusir Jepang dari
Aceh, tetapi Jepang pada tahun 1945 juga harus hengkang dari Aceh dikarenakan
negaranya dibom bardir oleh sekutu. Yang dikenal sebagai bom atom pertama di
dunia yaitu di Nagasaki dan Hirosima yang bertepatan pada tanggal 6 dan 9
Agustus. Dengan demikian kemenangan Aceh terhadap Jepang juga bukan mutlak
kemengan sendiri. Aceh hanya menerima kekalahan Jepang terhadap sekutu sama
seperti daerah-daerah di Indonesia pada umumnya.
Setelah Indonesia Merdeka
Setelah Jepang kalah dan angkat kaki
dari Aceh dan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, maka dari pihak
Intelektual Indonesia berusaha memploklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara
yang merdeka karena pada waktu itu Hindia Belanda terjadi kekosongan
kepemimpinan. Sukarno berusaha menggabungkan seluruh negeri bekas jajahan
Hindia Belanda sebagai sebuah negara yang merdeka. Dan Aceh juga termasuk
didalamnya.
Sukarno mendatangi Aceh yang pada
waktu itu dibawah kepemimpian Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai pimpinan
PUSA. Aceh bersedia bergabung dengan Indonesia jika setelah Indonesia merdeka
yang diterapkan sebagai dasar negara adalah Islam. Pada waktu itu Sukarno juga
menyanggupi apa yang diinginkan Tgk. M. Daud Beureueh. Karena janji tersebut
pula Aceh bersedia menyumbang untuk negara Indonesia sehingga bisa membeli dua
pesawat terbang yang kini cikal bakal menjadi Garuda Indonesia.
Namun apa hendak dikata janji yang
dulunya ditepati kemudian diingkari, yang rakyat Aceh sering menyebutnya Aceh sudah dikhianati Sukarno. Yang
tidak kalah menyakitkan lagi adalah digabungkannya Aceh ke dalam provinsi
Sumatera Utara, Aceh hanya dianggap sebagai sebuah keresidenan dari Sumatera
Utara. Karena merasa dikhianati maka rakyat Aceh dibawah pimpinanan Tgk. M.
Daud Bereueh pada tahun 1956 menggabungkan kedalam NII dibawah pimpinan
Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan di Aceh sendiri disebut DI/TII.
Pemerintah Indonesia mengerahkan
kekuatannya untuk memerangi pemberontakan tersebut, dikarenakan perjuangan Aceh
juga kuat maka usaha Indonesia untuk membasmi DI/TII juga tidak berhasil.
Indonesia hanya mampu membawa persoalan DI/TII ke meja perundingan yang dikenal
dengan Perjanjian Lamteh pada tahun 1962. Aceh pada waktu itu sudah diberi
kembali kehormatannya sebagai sebuah daerah yang istimewa di dalam negara
kesatuan Indonesia.
Dengan berakhirnya pergolakan tersebut
di meja perundingan maka Aceh dapat dikatakan tidak menang dalam peperangan
dengan Indonesia, dan juga tidak bisa dikatakan kalah karena dari Indonesia
sendiri tidak berhasil membasmi pemberontakan Aceh yang hanya mampu membawa ke
meja perundingan.
Pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)
Empat belas tahun setelah berakhirnya perlawanan
DI/TII, Hasan Muhammad Di Tiroe juga memproklamirkan Aceh merdeka tepatnya pada
tanggal 4 Desember 1976. Perjuangan ini tidak hanya menuntut kesejahteraan
tetapi sudah lebih ekstrim dari itu. Aceh mengingikan lepas dari Indonesia
dalam artian merdeka. Perjuangan ini sudah memasuki tahap baru dalam mendirikan
sebuah negara, pihak GAM tidak hanya berjuang berperang di Aceh tetapi juga
dilakukan perjuangan diplomasi di luar negeri.
Menyikapi hal ini pemerintah
Indonesia tidak tinggal diam, langkah-langkah untuk meredam pemberontakan Aceh
dilaksanakan. Ini terbukti dengan diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer)
di Aceh pada masa Suharto hingga DM (Darurat Militer) pada masa kepemimpinan
Megawati sebagai Presiden Indonesia. Kedua kebijakan ini tidak hanya memerangi
GAM tetapi juga membuat rakyat Aceh mangalami kesengsaraan baik itu mental,
pemerkosaan, pembunuhan terhadap rakyat sipil maupun pelangaran HAM lainnya.
Tiga puluh tahun lamanya GAM
memperjuangkan kemerdekaan Aceh, namun nyatanya permasalah Aceh juga berakhir
di meja perundingan. Yang menjadikan kesepakatan bersama antara Aceh dan
Indonesia yang dituangklan dalam MoU Helsingki pada tanggal 15 Agustus 2005.
Dengan lahirnya perdamaian ini maka Aceh kembali merasakan seperti yang
sebelumnya. Aceh tidak menang dan juga tidak kalah. Aceh diberi kebebasan
membuat partai lokal dan juga hak otonomi khusus dan banyak lagi
kesepakatn-kesepakatan yang dilahirkan dari MoU tersebut.
Kini Aceh tidak lagi memberontak,
tidak lagi menuntut kemerdekaan tetapi hanya memperjuangkan kesejahteraan. Aceh
telah diberi hak berpolitik dalam partai lokal maupun partai nasional. Tugas
generasi Aceh sekarang adalah memperjuangkan apa yang telah disepakati bersama
dalam MoU, yang tujuan utamanya tentu untuk kesejahteraan bersama rakyat Aceh.
Jangan sampai kejadian tidak kalah dan tidak menang juga terulang kembali
didalam berpolitik yang telah diberi kebebasan untuk Aceh.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar