Aceh
Termakan Sumpah Indatu?
Date: 06
March 2014 - 11:35 am, Viewer: 3362
Akhir-akhir
ini aksi kekerasan semakin meningkat di nanggroe Aceh menjelang pemilu. Jika
merunut ke belakang, tanoh Aceh selalu bersimbah darah dan terlibat konlik,
baik dengan pemerintah Jakarta, maupun perang saudara sesama orang Aceh.
Saya tidak
tahu apakah ini karena karakter masyarakat Aceh yang keras, atau ada sebab
lain.
Jika kita
hitung selama masa kemerdekaan dari kurun 1945 hingga sekarang saja, sudah
beberapa kali Aceh dilanda konflik.
Yang paling
fenomenal adalah Perang Cumbok. Terjadi pada 1946, ini konflik antara ulama dan
bangsawan. Kaum ulama marah kepada sebagian bangsawan yang dianggap memihak
Belanda. Tak sedikit kaum bangsawan yang dieksekusi tanpa proses pengadilan.
Bahkan jasadnya tak sedikit yang dikubur di sumur-sumur tua.
Setelah itu,
tujuh tahun kemudian, giliran meletus perang DI/TII yang dipimpin Teungku Daud
Beureuh. Daud kecewa pada Sukarno yang dianggapnya ingkar janji. Ini
berlangsung selama 9 tahun. Daud Beureueh akhirnya turun gunung pada 6 Mei
1962, kembali ke pelukan ibu pertiwi.
Berselang 14
tahun kemudian, muncul pemberontakan Hasan Tiro yang mendeklarasikan Gerakan
Aceh Merdeka. Dimulai sejak 4 Desember 1976, GAM sepakat berdamai dengan
pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005.
Kini, di
usia perdamaian yang baru 9 tahun tahun, Aceh kembali bersimbah darah. Kali ini
bukan melawan pemerintah Indonesia, melainkan sesama orang Aceh.
Mengapa
konflik seolah enggan beranjak dari bumoe Aceh. Ini perlu kajian antropolog
yang lebih mendalam.
Namun, dalam
kebingungan itu menemukan tulisan tentang sumpah kerajaan Aceh ketika akan
melawan agesi Belanda pada 1873.
Pada 1872
Masehi, di dalam Masjid Baiturrahim Daruddunia (sekarang Masjid Raya), para
pembesar kerajaan dan ulama membuat kesepakatan untuk berperang melawan
Belanda. Kesepakatan tersebut kemudian dibungkus dalam sumpah yang dipimpin
oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh
Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh.
Sumpah
tersebut berbunyi, “demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh dan
sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur
barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami taat setia kepada Allah
dan Rasul, dan kami semua ini taat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat
Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan
mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh,
mempertahankan dari pada serangan musuh kecuali ada masyakkah, dan kami semua
ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang
telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah
bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikrar
dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul,
mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun,
dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata
mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.”
Sumpah ini
kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf
Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia
Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal
Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka
Ali Hasjmy di Banda Aceh. (Referensi: Sumpah
Kerajaan Aceh)
Pada 1 Muharram 1290 Hijriyah atau sekitar 1873 M, diambil sumpah tiga menteri inti. Tempatnya juga di dalam Masjid Istana Baiturrahim. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mukhaddam Syeh Marhaban bin Haji Saleh Lambhuk.
Isinya
sebagai berikut:
"Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barangsiapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.”
Setelah selesai pengambilan sumpah, Kabinet Perang langsung mengeluarkan perintah hariannya yang ditujukan kepada semua hulubalang dan rakyat Aceh. Surat ini disampaikan oleh Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Said Abdullah Teungku Di Meulek. Perintah harian tersebut berjudul Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Hollanda, tertanggal 1 Muharram 1290 H atau sekitar 1873 M.
"Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barangsiapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.”
Setelah selesai pengambilan sumpah, Kabinet Perang langsung mengeluarkan perintah hariannya yang ditujukan kepada semua hulubalang dan rakyat Aceh. Surat ini disampaikan oleh Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Said Abdullah Teungku Di Meulek. Perintah harian tersebut berjudul Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Hollanda, tertanggal 1 Muharram 1290 H atau sekitar 1873 M.
Salah satu
bagian surat ini berbunyi:
"Maka
barangsiapa yang tuan-tuan dan hulubalang-hulubalang memihak berdiri kepada Holanda
dengan sengaja, yaitu tidak ada masyakkah, maka Insya Allah Taala akan datang
pada suatu zaman yang kebili kebilui anak cucu tuan-tuan muntah darah dan
dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing, walau besar walau
kecil." (Referensi: Perintah Perang Aceh)
Kita tahu,
perkembangan berikutnya tak sedikit hulubalang Aceh yang berpihak pada Belanda,
sampai kemudian meletuslah perang Cumbok pada 1946.
Saya kembali
terpekur mengingat kondisi Aceh hari ini. Air mata saya tiba-tiba saja tak
terbendung. Apakah Aceh termakan sumpah indatu? []
- See more
at:
http://atjehtoday.com/content/read/1835/Aceh-Termakan-Sumpah-Indatu#sthash.2z5hWTdC.dpuf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar