KISAH
WALI NANGGROE
PASCA PENGESAHAN
Qanun dan penetapan Tgk Malik Mahmud sebagai Wali Nanggroe
IX oleh DPRA pada 2 November 2012 lalu, muncul pertanyaan siapa Wali Nanggroe
di Aceh sebelumnya? Tanpa bermaksud mencampuri susunan Wali Nanggroe yang
pernah disiarkan media ini sebelumnya, saya tertarik mendiskusikan bagaimana
duduk perkara penyebutan Wali Nanggroe dalam sejarah Aceh. Argumen yang hendak
saya sampaikan adalah penyebutan wali nanggroe sangat terkait dengan situasi
darurat, di mana ada figur yang ditetapkan, ada pula yang minta ditetapkan
sebagai Wali Nanggroe Aceh.
Persoalan ini tentu saja merupakan kajian sejarah yang masih
mengundang sejumlah perdebatan, apalagi dengan kemunculan Malik Mahmud sebagai
Wali Nanggroe IX. Di sisi lain, kita pun tidak mengingkan terjadinya pembelokan
sejarah, terutama mengingat keturunan Sultan Aceh yang memimpin Kerajaan Aceh
sampai hari ini masih hidup. Ini bagian dari tanggung jawab kita terhadap
sejarah Aceh yang harus benar dan lurus saat diwariskan kepada generasi penerus
kita.
Wali
dalam sejarah
Menurut catatan sejarah Aceh, istilah Wali muncul pada saat
Aceh dipimpin Sultanah Shafiatuddin (1641-1675), Sultanah Naqiatuddinsyah
(1675-1678 M), Zakiatuddin Inayatsyah (1678-1688), dan Kamalatsyah (1688-1699).
Saat itu, Wali Nanggroe Aceh dijabat oleh Syekh Abdurrauf As-Singkili, yang
diangkat sebagai Waliul Mulki sekaligus Qadhi Malikul Adil Kerajaan Aceh.
Penyebutan ini mengindikasikan bahwa gelar Wali Nanggroe ditabalkan untuk ulama
yang dianggap memiliki otoritas keagamaan yang paling tinggi. Namun, setelah
Syekh Abdurrauf As-Singkili meninggal, istilah Wali tak terdengar lagi. Bahkan,
Sultanah Kamalatsyah pun diturunkan atas “fatwa politik ulama Mekkah” dan sejak
saat itu Aceh kembali dipimpin oleh dinasti Jamalullail dari Arab (1699-1727).
Istilah Wali muncul kembali pada 1870 ketika Tuwanku Hasyim
Bangta Muda ditetapkan sebagai Waliul Mulki, karena saat itu Sultan Mahmud Syah
(1870-1874) masih belia, sehingga belum layak diangkat menggantikan Sultan
Alaidin Ibrahim Syah yang meninggal dunia. Tak lama kemudian atau tepatnya pada
26 Maret 1873, Belanda menyerang Aceh. Tuwanku Hasyim berupaya menyelamatkan
wibawa Kesultanan Aceh dengan memindahkan Sultan Mahmud Syah yang masih kecil
ke Lueng Bata, Kutaraja (sekarang Banda Aceh-ed.) hingga mengembuskan napas
terakhir pada 28 Januari 1874, terkena penyakit kolera.
Peran Tuwanku Hasyim terus berlanjut di masa pemerintahan
Sultan Muhammad Daud Syah (1878-1939) yang juga masih berumur 7 tahun sewaktu
pengangkatan sultan. Setelah Sultan dianggap dewasa dan tidak perlu lagi peran
Wali, maka pada 1884 Tuwanku Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Sultan di
Keumala Dalam (ibu kota Aceh Baru menggantikan Kutaraja) dan pulang ke Reubee.
Kemudian pada 1886 beliau menetap di Padang Tiji hingga meninggal pada Jumat,
22 Januari 1891 dan dimakamkan di pekarangan Masjid Tuha Padang Tiji.
Wali masa DI/TII
Pada 21 September 1953 terjadi pemberontakan terhadap
Soekarno oleh kaum republiken di Aceh, disebabkan terjadi ketidakpuasan
terhadap pemerintahan di Jakarta yang tidak menghargai pengorbanan rakyat Aceh
terhadap Republik Indonesia (RI). Padahal Aceh sebagai modal republik. Pada 21
September 1955 dilaksanakan Kongres Batee Kureng di Bireuen yang dihadiri 100
orang, dipimpin Tgk Amir Husein Al Mujahid. Forum itu memutuskan untuk
mengangkat Tgk Daud Beureueh sebagai Wali Negara Aceh.
Namun, pada 15 Maret 1959, Tgk Daud Beureueh dikudeta oleh
Hasan Saleh yang mengambil alih seluruh kekuasaan sipil dan militer dan
menyerahkan kepada Dewan Revolusi yang diketuai Ayah Gani, dengan wakil
ketuanya Hasan Saleh merangkap sebagai Panglima Militer, dan A Gani Mutiara
(Sekjen), Husin Yusuf (Penasihat Militer), T Amin (Penasihat Sipil), TA Hasan
(penata keuangan), dan Ishak Amin (juru runding antara Dewan Revolusi dengan
RI). Dewan Revolusi ini kemudian mengangkat Tgk Amir Husin Al Mujahid sebagai
Wali Negara baru menggantikan Tgk Daud Beureueh.
Wali versi GAM
Pada 4 Desember 1976, Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro,
mendeklarasikan Aceh Mardeka di Gunung Halimun, Pidie, sebagai bentuk
perlawanan terhadap RI sebagai “neokolonialisme”. Tgk Hasan mengklaim Aceh
adalah negara berdaulat dan tidak pernah menyerah kepada Belanda, juga bukan
bagian dari RI. Gerakan ini ia namai “successor state” dan negara yang
diproklamirkan bukanlah negara baru, melainkan sambungan dari Kerajaan Aceh
yang tidak pernah menyerah kepada Belanda.
Tgk Hasan Muhammad di Tiro membentuk kabinet pemerintahannya
dan dia bertindak sebagai Wali Negara (kepala negara). Dasar penyebutan dirinya
sebagai Wali Negara, karena Kesultanan Aceh, menurut Tgk Hasan, telah
menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman pada 28
Januari 1874 dan bertanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh
sebagai Muzabbirul Muluk atau Wali Negara yang sah.
Saat itulah hilangnya kekuasaan Sultan, Malikul Adil, dan
Keutuha Reusam. Kekuasaan Aceh beralih dari keluarga Sultan Aceh ke keluarga
Tiro yang dimulai dari Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman (28 Januari 1874-31
Desember 1891); Kemudian disusul oleh Tgk Chik di Tiro Muhammad Amin bin
Muhammad Saman (1 Januari 1892-1896); Tgk Chik di Tiro Abdussalam bin Muhammad
Saman (1896-1898); Tgk Chik di Tiro Sulaiman bin Muhammad Saman (1898-1902);
Tgk Chik di Tiro Ubaidillah bin Muhammad Saman (1902-1905); Tgk Chik di Tiro
Mahjuddin bin Muhammad Saman (1905-11 Desember 1910); Tgk Maat Tiro (11
Desember 1910-3 Desember 1911).
Nah, di sinilah muncul silsilah Wali seperti yang belakangan
ini mencuat. Agaknya, Malik Mahmud ingin menjadi Wali Nanggroe dari jalur
perjalanan sejarah ini. Tgk Hasan Muhammad di Tiro mendasarkan klaim sejarahnya
pada sepucuk sarakata yang ditemukan pasukan Marsose dipimpin Letnan Schmidt
dalam kantong baju Teungku Maat yang syahid pada 3 Desember 1911 di Alue Bhot,
Tangse, Pidie. Almarhum dimakamkan keesokan harinya atau 4 Desember, yang
kemudian oleh Tgk Hasan Muhammad di Tiro dijadikan sebagai tanggal deklarasi
Aceh Mardeka pada 4 Desember 1976 sebagai successor state dari Kerajaan Aceh
Darussalam.
Sarakata tersebut ditulis di Koetaradja, Kampung Keudah,
pada 18 Rajab 1327 H (Kamis, 5 Agustus 1909). Dikirim oleh Tuwanku Mahmud bin
Tuwanku Pangeran Abdul Majid (adik istri Sultan Muhammad Daud), Tuwanku Raja
Keumala (anak Tuwanku Hasyim Banta Muda bin Tuwanku Cut Zainal), dan Tuwanku
Panglima Polem Muhammad Daud. Sarakata itu ditujukan kepada Habib Abdurrahman
Teupin Wan, Teungku Mahyiddin Tiro, dan Teungku di Buket ibnal Almukarram
Maulana Almudabbir Almalik Teungku di Tiro, Teungku Hasyim, Teungku Ulee Tutue,
Teungku Ibrahim, dan pengikutnya.
Tgk Chik di Tiro aktif dalam perang Aceh pada 1880, sepulang
dari Mekkah dan setelah diangkat sultan baru, yakni Sultan Muhammad Daudsyah di
Masjid Indrapuri (1878), dalam musyawarah pembesar Aceh yang dipimpin Tuwanku
Hasyim Bangta Muda (ayah dari Tuwanku Raja Keumala), T Panglima Polem Muda
Kuala (ayah Panglima Polem Muhammad Daud), Teungku Imum Lueng Bata, dan Tgk
Tanoh Abee. Tgk Chik di Tiro Muhammad Saman selalu menegaskan bahwa “tudjuan
perangnja, bukan mau berkuasa di Atjeh, tetapi mau mengusir musuh untuk ibadat
dan karena panggilan djiwanja.” (Ismail Ya’cob, 1943:103).
Di lain pihak, Sultan Muhammad Daudsyah sendiri selalu
menegaskan bahwa dialah Raja Aceh yang sah. Dia juga tidak pernah menyerahkan
kekuasaan kepada siapa pun sampai ia dibuang Belanda ke Batavia pada 21 Agustus
1907 hingga mangkat pada 4 Februari 1939 dan dimakamkan di Utan Kayu,
Jatinegara, Jakarta. Inilah sekelumit fakta sejarah mengenai gelar Wali
Nanggroe. Semoga lembaga ini benar-benar fungsional sebagai pemersatu rakyat
Aceh, bukan pemicu konflik baru di negeri para aulia ini.
* M. Adli Abdullah, SH, Lc, Pemerhati Sejarah dan Peradaban
Aceh. Email: bawarith@gmail.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar