Kamis, 08 Mei 2014

ACEH TERMAKAN SUMPAH INDATU

Aceh Termakan Sumpah Indatu?
Date: 06 March 2014 - 11:35 am, Viewer: 3362 




Akhir-akhir ini aksi kekerasan semakin meningkat di nanggroe Aceh menjelang pemilu. Jika merunut ke belakang, tanoh Aceh selalu bersimbah darah dan terlibat konlik, baik dengan pemerintah Jakarta, maupun perang saudara sesama orang Aceh. 
Saya tidak tahu apakah ini karena karakter masyarakat Aceh yang keras, atau ada sebab lain. 
Jika kita hitung selama masa kemerdekaan dari kurun 1945 hingga sekarang saja, sudah beberapa kali Aceh dilanda konflik. 
Yang paling fenomenal adalah Perang Cumbok. Terjadi pada 1946, ini konflik antara ulama dan bangsawan. Kaum ulama marah kepada sebagian bangsawan yang dianggap memihak Belanda. Tak sedikit kaum bangsawan yang dieksekusi tanpa proses pengadilan. Bahkan jasadnya tak sedikit yang dikubur di sumur-sumur tua. 
Setelah itu, tujuh tahun kemudian, giliran meletus perang DI/TII yang dipimpin Teungku Daud Beureuh. Daud kecewa pada Sukarno yang dianggapnya ingkar janji. Ini berlangsung selama 9 tahun. Daud Beureueh akhirnya turun gunung pada 6 Mei 1962, kembali ke pelukan ibu pertiwi. 
Berselang 14 tahun kemudian, muncul pemberontakan Hasan Tiro yang mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka. Dimulai sejak 4 Desember  1976, GAM sepakat berdamai dengan pemerintah Indonesia pada 15 Agustus 2005. 
Kini, di usia perdamaian yang baru 9 tahun tahun, Aceh kembali bersimbah darah. Kali ini bukan melawan pemerintah Indonesia, melainkan sesama orang Aceh. 
Mengapa konflik seolah enggan beranjak dari bumoe Aceh. Ini perlu kajian antropolog yang lebih mendalam. 
Namun, dalam kebingungan itu menemukan tulisan tentang sumpah kerajaan Aceh ketika akan melawan agesi Belanda pada 1873.  
Pada 1872 Masehi, di dalam Masjid Baiturrahim Daruddunia (sekarang Masjid Raya), para pembesar kerajaan dan ulama membuat kesepakatan untuk berperang melawan Belanda. Kesepakatan tersebut kemudian dibungkus dalam sumpah yang dipimpin oleh Kadli Mu’adhdham Mufti Besar Aceh, Syekh Marhaban bin Haji Muhammad Saleh Lambhuk dengan disaksikan oleh para alim ulama Aceh. 
Sumpah tersebut berbunyi, “demi Allah, kami sekalian hulubalang khadam Negeri Aceh dan sekalian kami yang ada jabatan masing-masing kadar mertabat, besar kecil, timur barat, tunong baroh, sekalian kami ini semuanya, kami taat setia kepada Allah dan Rasul, dan kami semua ini taat setia kepada Agama Islam, mengikuti Syariat Nabi Muhammad Saw, dan kami semua ini taat setia kepada raja kami dengan mengikuti perintahnya atas yang hak, dan kami semuanya cinta pada Negeri Aceh, mempertahankan dari pada serangan musuh kecuali ada masyakkah, dan kami semua ini cinta kasih pada sekalian rakyat dengan memegang amanah harta orang yang telah dipercayakan oleh empunya milik. Maka jika semua kami yang telah bersumpah ini berkhianat dengan mengubah janji seperti yang telah kami ikrar dalam sumpah kami semua ini, demi Allah kami semua dapat kutuk Allah dan Rasul, mulai dari kami semua sampai pada anak cucu kami dan cicit kami turun temurun, dapat cerai berai berkelahi, bantah dakwa-dakwi dan dicari oleh senjata mana-mana berupa apa-apa sekalipun. Wassalam.” 
Sumpah ini kemudian dimasukkan dalam sarakata Baiat Kerajaan, bertulis tangan dengan huruf Arab. Naskahnya ditemukan kembali dalam dokumen peninggalan Wazir Rama Setia Kerajaan Aceh Said Abdullah Di Meulek. Naskah asli kini disimpan Said Zainal Abidin salah seorang keturunan Di Meulek, sementara foto kopinya ada di Pustaka Ali Hasjmy di Banda Aceh. (Referensi: Sumpah Kerajaan Aceh)

Pada 1 Muharram 1290 Hijriyah atau sekitar 1873 M, diambil sumpah tiga menteri inti. Tempatnya juga di dalam Masjid Istana Baiturrahim. Pengambilan sumpah dipimpin oleh Kadli Mukhaddam Syeh Marhaban bin Haji Saleh Lambhuk.  
Isinya sebagai berikut:
"Kami bersumpah, bahwasanya kami tiga orang sekali-kali tidak mau tunduk di bawah kekuasaan Holanda, dengan menyerah diri takluk di bawah kekuasaan siteru. Maka barangsiapa dalam tiga orang yang tersebut namanya dalam surat istimewa ini tunduk dan takluk ke bawah kekuasaan Holanda, maka ke atasnya kutuk Allah sampai pada anak cucunya masing-masing.”
Setelah selesai pengambilan sumpah, Kabinet Perang langsung mengeluarkan perintah hariannya yang ditujukan kepada semua hulubalang dan rakyat Aceh. Surat ini disampaikan oleh Wazir Rama Setia/Wakil Panglima Besar Angkatan Perang, Said Abdullah Teungku Di Meulek. Perintah harian tersebut berjudul Surat Nasehat Istimewa Keputusan Kerajaan Melawan Hollanda, tertanggal 1 Muharram 1290 H atau sekitar 1873 M. 
Salah satu bagian surat ini berbunyi:
"Maka barangsiapa yang tuan-tuan dan hulubalang-hulubalang memihak berdiri kepada Holanda dengan sengaja, yaitu tidak ada masyakkah, maka Insya Allah Taala akan datang pada suatu zaman yang kebili kebilui anak cucu tuan-tuan muntah darah dan dimandikan dengan darah oleh rakyat sendiri masing-masing, walau besar walau kecil." (Referensi: Perintah Perang Aceh)
Kita tahu, perkembangan berikutnya tak sedikit hulubalang Aceh yang berpihak pada Belanda, sampai kemudian meletuslah perang Cumbok pada 1946.
Saya kembali terpekur mengingat kondisi Aceh hari ini. Air mata saya tiba-tiba saja tak terbendung. Apakah Aceh termakan sumpah indatu? []

- See more at: http://atjehtoday.com/content/read/1835/Aceh-Termakan-Sumpah-Indatu#sthash.2z5hWTdC.dpuf

Rabu, 07 Mei 2014

Tragedi Beutong Ateuh


oleh :  Museum HAM Aceh
 
Saksi Tragedi Beutong Ateuh:
Mereka Dibantai Tanpa Perlawanan 



BANDA ACEH (Waspada): Peristiwa dibalik kematian Tgk. Bantaqiah dan 30
pengikutnya terkuak setelah saksi mata membeberkan peristiwa yang
digambarkan sebagai pembantaian massal oleh pasukan "siluman" Bataliyon 328
Kostrad di bawah kendali operasi (BKO) Korem 011/Lilawangsa.

Tapi Danrem 011/LW Kol Inf Syafnil Armen kepada BBC London membantah bahwa
pasukan yang menembaki Bantaqiah berikut pengikutnya dari Kostrad yang
didatangkan dari Jakarta.

"Setahu saya tidak ada pasukan Kostrad yang dikirim ke Aceh," kata Danrem
011/Lilawangsa, seperti disiarkan BBC London Senin (26/7) malam. Dan, kata
dia, pasukan yang dilibatkan dari Korem 011/LW dan Korem 012/Teuku Umar.

Tapi sumber-sumber resmi Waspada menyebutkan, pasukan di bawah pimpinan Kasi
Intel Korem 011/LW Letkol Inf Sudjono diperkuat satuan setingkat peleton
dari Komando Strategi Angkatan Darat (Kostrad).

Kata sumber Waspada, seratus lebih pasukan TNI tersebut bergerak dari
Takengon, Aceh Tengah Kamis (22/7). Dari kota dingin itu, pasukan
menggunakan truk militer dan menyisir lembah Beutong Ateuh.

Meraungnya deru mesin truk militer, dilaporkan sempat dilihat dan
mengejutkan penduduk sehingga mereka ketakutan. Untuk menuju ke lokasi
pesantren milik Bantaqiah, aparat keamanan harus menyusuri jalan setapak
menuruni lembah dan melintasi Krueng (sungai) Beutong.

Sampai di TKP Jumat siang (bukan Sabtu-red), menurut versi TNI, pasukan
sempat dua kali dihadang pengikut tokoh spiritual itu. Karena mendapat
perlawanan, pasukan TNI kemudian memberondong tubuh Bantaqiah dan 30 orang
pengikutnya. Penduduk sipil itu langsung tewas di tempat.

Tanpa Perlawanan

Sementara itu Abdullah Saleh SH, adik sepupu Tgk Bantaqiah, kepada Waspada
di Banda Aceh, Senin (26/7) menjelaskan sebelum mereka dihabisi tanpa
perlawanan lebih dahulu dibariskan di halaman kediaman Tgk Bantaqiah dengan
posisi tangan di atas kepala.

Mengutip saksi hidup yang kini diamankan di suatu tempat di Aceh Barat,
Abdullah Saleh, yang juga Wakil Ketua DPW PPP Aceh, itu menyebutkan
kronologi pembantaian bermula dari masuknya pasukan TNI keempat desa di
kemukiman Beutong Ateuh.

Desa pertama yang disisir, kata Abdullah Saleh, yaitu Blang Puuk. Di situ
aparat memberitahukan kepada masyarakat, Jumat (22/7) akan diadakan
pemeriksaan KTP. Setelah itu, kata Abdullah Saleh, aparat bergerak menuju
Desa Blang Meurandeh dan menyisiri hulu sungai Krueng Beutong. Siang
harinya, pasukan kembali ke desa Blang Meurandeh, sementara masyarakat sudah

berkumpul di rumah Bantaqiah.

Saat itu, kata Abdullah Saleh, masyarakat yang di atas panggung diperintah
turun oleh pasukan aparat dan berkumpul di halaman rumah. Saat mereka sudah
berkumpul, kata pengacara di Banda Aceh itu, pasukan TNI langsung menembaki
tubuh Tgk Bantaqiah.

Melihat Bantaqiah ditembaki, istri dan anaknya, Usman 28, lari dan memeluk
tubuh Bantaqiah. Terus, kata Abdullah Saleh, keduanya tak luput dari
berondongan peluru hingga bapak, istri dan anak itu tewas bersimbah darah.
Setelah itu, masih kata Abdullah Saleh, seluruh pengikut Bantaqiah ditembaki
sedangkan sisanya dibawa dengan truk ke arah Takengon.

Menurut Abdullah Saleh, seluruh warga sipil yang menjadi korban kekejaman
pasukan TNI itu dikubur dalam satu lobang, bekas galian sumur. Sedangkan
jasad Bantaqiah, dikubur secara terpisah. "Yang melakukan penguburan massal
adalah rakyat yang diperintahkan pasukan TNI," kata Abdullah, mengutip
keterangan saksi yang lolos dari pembantaian itu. Begitupun, hingga berita
ini dikirm belum diperoleh keterangan nama-nama korban pembantaian itu.
(tim)

----------end----------

GAM Bantah Telah
Terjadi Kontak Senjata

BANDA ACEH (Waspada): Sekjen Majelis Pemerintahan Gerakan Aceh Merdeka (MP
GAM), Teuku Don Zulfahri membantah telah terjadi kontak senjata dalam
Tragedi Beutong Ateuh yang menewaskan Tgk. Bantaqiah bersama istri dan para
muridnya.

"Tgk. Bantaqiah hanyalah mangsa genocide yang dilakukan oleh aparat-aparat
TNI," tegas T. Don Zulfahri dalam siaran pers yang diterima Waspada di Banda
Aceh, Senin (26/7) malam.

Dalam siaran pers Sekjen MP GAM yang dikirim melalui faksimil dari Malaysia
itu, T.Don juga menyatakan seluruh komponen GAM berdukacita dengan
meninggalnya Tgk. Bantaqiah. Karena bangsa Aceh kembali kehilangan seorang
guru agama Islam yang berprinsip dan berkaliber.

Peristiwa hari Jumat (22/7) yang baru bocor kepada umum Minggu malam itu,
menurut T. Don merupakan suatu pembunuhan yang direncanakan oleh TNI untuk
menakut-nakuti teungku-teungku dan alim ulama Aceh yang diketahui merestui
perjuangan GAM.

Kata dia, target yang dipilih TNI jauh dari masyarakat ramai, adalah untuk
mengelakkan reaksi spontan dari para santri dan teungku dayah di seluruh
Aceh. "Semasa DOM dulu, Tgk. Ahmad Dewi juga diganyang dengan cara serupa."

Disebutkan, dalam peristiwa tersebut tidak ada terjadi kontak senjata.
Malah, menurutnya, Tgk. Bantaqiah tidak melawan langsung. "Beliau dibunuh
dengan kejam diluar prilaku manusia, lebih parah dari binatang. Setelah
beliau dihabisi, anak muridnya dibariskan dan ditembak seperti tentara Nazi
membunuh kaum Yahudi," papar T.Don.

Sementara rentetan peristiwa yang di beberkan Danrem 012/TU Kolonel CZI
Syarifudin Tippe, menurut Sekjen GAM ini, semuanya merupakan cerita bohong
dan palsu. Kata dia, ganja yang ditemukan adalah rekayasa TNI yang
direncanakan, penemuan senjata api bukan bukti ada kontak senjata. "Untuk
itu, kami menyerukan bangsa Aceh agar mengusir manusia-manusia hipokrit
seperti itu," tulis T.Don.

Dalam genocide terhadap Tgk. Bantaqiah, istri dan muridnya, T.Don menyatakan
TNI telah merencanakan untuk menyembunyikannya dari pengetahuan umum, sama
seperti pembunuhan terhadap Tgk. Ahmad Dewi.

Buktinya, kejadian sudah Jumat siang, kenapa baru hari Minggu diberikan
penjelasan oleh TNI. Inipun setelah peristiwa itu bocor kepada wartawan,
yang disampaikan oleh murid-murid Tgk. Bantaqiah yang sempat menyelamatkan
diri. "Kalau tidak, tentu akan menjadi misteri seperti hilangnya Tgk. Ahmad
Dewi," tuturnya.

Dalam siaran pers itu, T. Don dengan tegas menyatakan GAM tidak akan
bertolak angsur dengan TNI dalam keadaan apapun, GAM akan berjuang sampai ke
titik darah terakhir, walaupun seluruh rakyat Aceh dibantai seperti Tgk.
Bantaqiah. "Biar seluruh bumi Aceh hangus, asalkan Aceh terbebas dari TNI."

Pada akhir siaran persnya, T. Don Zulfahri memohon kepada Allah agar
mencucuri rahmat dan hidayah-Nya kepada Tgk. Bantaqiah, istri dan para
muridnya yang telah lebih dulu berpulang ke pangkuan-Nya

AGAM Mengutuk

Angkatan Gerakan Aceh Merdeka (AGAM) juga mengutuk keras tindakan sadis
pembunuhan tokoh karismatik dan pemimpin agama Aceh Barat Tgk.Bantaqiah dan
isteri serta 30 pengikut lainnya oleh pasukan militer TNI dalam suatu
penyergapan di lembah Gunung Singgah Mata, Beutong Ateuh, Aceh Barat Sabtu
siang lalu (24/7).

Demikian diungkapkan AGAM melalui Biro Penerangan Wilayah Pase Ismail
Saputra (Abu Is) dalam suatu percakapan telepon dari tempat
persembunyiannya.

Menurut Abu Is, Tgk, Bantaqiah sama sekali bukan anggota AGAM/GAM. Dia
adalah pemimpin karismatik dan tokoh agama di Aceh Barat selain juga
pimpinan salah satu pesantren di kawasan pedalaman di Gunung Singgah Mata.
Jadi tak ada alasan pasukan TNI menghabisi nyawa tokoh karismatik Islam
bersama isteri dan puluhan santrinya itu.

"Kami dari AGAM dan juga barangkali seluruh lapisan rakyat Aceh benar-benar
mengalami luka hati yang mendalam dan entah cara bagaimana melampiaskan rasa
pilu diselimuti duka atas perlakuan penembakan dan pembunuhan tokoh Islam
Aceh dan pimpinan pesantren Tgk.Bataqiah beserta isteri dengan puluhan
santri yang tak berdosa yang tewas ketika masih menuntut ilmu, terutama
Agama Islam," ujar Abu Is dengan rasa haru yang mendalam.

Dia lagi-lagi mempertanyakan, kenapa pihak militer TNI sampai hati menembak
habis pimpinan pesantren dan isteri serta puluhan santri yang tak berdosa
itu tanpa ada rasa prikemanusiaan sedikitpun, sementara mereka jelas tak
punya senjata karena bukan anggota AGAM, sayap militer GAM.

Abu Is juga membantah keras keterangan Danrem 012/TU Kol CZI Syarifuddin
Tippe yang menyebutkan, bahwa dari tangan para korban disita empat pucuk
senjata api AK-47, AK-56, pistol Colt 38 dan FN-45 dan sejumlah peluru.
"Sebagai orang pesantren, mereka jelas tidak punya senjata api. Namun kalau
ada, bagaimana pasukan TNI mendapatkan," ujar Abu Is dengan nada bertanya.

Kepada pihak TNI dia juga mengimbau agar tidak gegabah dalam melakukan aksi
penembakan. Warga sipil, terutama kaum agama dan para santri yang tak tahu
apa-apa harus dibedakan karena mereka bukan anggota AGAM. Karena, kalau
tidak, jelasnya, warga sipil Aceh, termasuk anak sekolah akan ikut dibabat
habis sehingga akhirnya lebih berharga jiwa binatang ketimbang jiwa rakyat
Aceh. "Bagaimanapun, orang Aceh pasti tak mau menerima perlakuan seperti itu
dari pihak TNI," katanya. (tim)

Sabtu, 03 Mei 2014

SEJARAH ACEH TIDAK KALAH DAN TIDAK MENANG, sampai kapan ?


Oleh : Oga Umar Dhani

            Dalam sejarah banyak pergelokan yang terjadi di Aceh, baik dari masa masih sebagai sebuah Kerajaan yang merdeka maupun ketika di dalam negara yang merdeka, Indonesia. Dimasa Aceh masih sebuah kerajaan yang merdeka maka pihak luar mengingikan manguasai Aceh, khususnya Belanda yang sangat berambisi untuk menaklukkan Aceh. Setelah Aceh merdeka dibawah naungan Indonesia sebagai sebuah negara kesatuan pergolakan Aceh juga tidak berhenti, Aceh masih berjuang melawan ketidak adilan seperti DI/TII pada tahun 1956 maupun GAM pada tahun 1976. Kesemua perjuangan tersebut Aceh setidaknya mengalami nasib yang sama yaitu tidak menang dan tidak kalah.

Perlawanan Terhadap Belanda


            Pada masa pergelokan perjuangan rakyat Aceh pada tahun 1873 melawan serangan Belanda, Aceh menghimpun seluruh kekuatan untuk mempertahankan kemerdekaannya. Aceh telah dijadikan sasaran utama penaklukkan Belanda diakhir abad ke 19. Hal ini terjadi karena pada akhir abad ke 19 hanya Aceh yang belum dikuasai oleh Belanda. Belanda berusaha keras untuk menaklukkan Aceh, karena Belanda tidak menginginkan Aceh mendapat pangaruh dari negara-negara eropa lainnya.
Perang aceh dengan Belanda tersebut tidak bisa di ambil sebuah kesimpulan tentang siapa yang menang dan siapa yang kalah. Walaupun Belanda mengatakan Aceh telah takluk pada tahun 1904 karena Sultan tertangkap, namun perjuangan rakyat Aceh masih terjadi hingga Jepang datang. Jikapun dikatakan Aceh menang melawan dan mengusir Belanda itu juga tidak kuat untuk diungkapkan. Buktinya Belanda pada tahun 1912 sudah mempunyai birokrasi yang jelas di Kutaraja. Belanda pergi dari Aceh juga bukan karena kerasnya perlawanan Aceh melainkan karena datangnya Jepang untuk menguasai Asia. Jadi dapat disimpulkan perlawan rakyat Aceh terhadap Belanda tidak mengalami kekalahan maupun kemenangan.

Perlawanan Terhadap Jepang


Setelah Belanda pergi pada tahun 1942, Aceh juga memiliki musuh baru untuk diperangi yaitu Jepang. Walaupun pada awalnya Jepang datang ke Aceh difasilitasi oleh PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) tetapi karena adanya pengkhianatan dan juga terjadinya perbedaan pemahaman dan budaya maka Jepang menurut orang Aceh juga harus di usir dari bumi serambi mekkah ini. Maka dikalangan rakyat muncul sepenggal kata “Talet asee ta teurimeng bui” kita kejar anjing kita terima babi. Anjing diumpamakan untuk Belanda dan jepang di ibaratkan Babi.
Semenjak itu rakyat Aceh dibawah komando ulama berusaha berusaha mengusir Jepang dari Aceh, tetapi Jepang pada tahun 1945 juga harus hengkang dari Aceh dikarenakan negaranya dibom bardir oleh sekutu. Yang dikenal sebagai bom atom pertama di dunia yaitu di Nagasaki dan Hirosima yang bertepatan pada tanggal 6 dan 9 Agustus. Dengan demikian kemenangan Aceh terhadap Jepang juga bukan mutlak kemengan sendiri. Aceh hanya menerima kekalahan Jepang terhadap sekutu sama seperti daerah-daerah di Indonesia pada umumnya.

Setelah Indonesia Merdeka


            Setelah Jepang kalah dan angkat kaki dari Aceh dan seluruh wilayah bekas jajahan Hindia Belanda, maka dari pihak Intelektual Indonesia berusaha memploklamirkan Indonesia sebagai sebuah negara yang merdeka karena pada waktu itu Hindia Belanda terjadi kekosongan kepemimpinan. Sukarno berusaha menggabungkan seluruh negeri bekas jajahan Hindia Belanda sebagai sebuah negara yang merdeka. Dan Aceh juga termasuk didalamnya.
            Sukarno mendatangi Aceh yang pada waktu itu dibawah kepemimpian Tgk. Muhammad Daud Beureueh sebagai pimpinan PUSA. Aceh bersedia bergabung dengan Indonesia jika setelah Indonesia merdeka yang diterapkan sebagai dasar negara adalah Islam. Pada waktu itu Sukarno juga menyanggupi apa yang diinginkan Tgk. M. Daud Beureueh. Karena janji tersebut pula Aceh bersedia menyumbang untuk negara Indonesia sehingga bisa membeli dua pesawat terbang yang kini cikal bakal menjadi Garuda Indonesia.

            Namun apa hendak dikata janji yang dulunya ditepati kemudian diingkari, yang rakyat Aceh sering menyebutnya Aceh sudah dikhianati Sukarno. Yang tidak kalah menyakitkan lagi adalah digabungkannya Aceh ke dalam provinsi Sumatera Utara, Aceh hanya dianggap sebagai sebuah keresidenan dari Sumatera Utara. Karena merasa dikhianati maka rakyat Aceh dibawah pimpinanan Tgk. M. Daud Bereueh pada tahun 1956 menggabungkan kedalam NII dibawah pimpinan Kartosuwiryo di Jawa Barat. Dan di Aceh sendiri disebut DI/TII.
            Pemerintah Indonesia mengerahkan kekuatannya untuk memerangi pemberontakan tersebut, dikarenakan perjuangan Aceh juga kuat maka usaha Indonesia untuk membasmi DI/TII juga tidak berhasil. Indonesia hanya mampu membawa persoalan DI/TII ke meja perundingan yang dikenal dengan Perjanjian Lamteh pada tahun 1962. Aceh pada waktu itu sudah diberi kembali kehormatannya sebagai sebuah daerah yang istimewa di dalam negara kesatuan Indonesia.
            Dengan berakhirnya pergolakan tersebut di meja perundingan maka Aceh dapat dikatakan tidak menang dalam peperangan dengan Indonesia, dan juga tidak bisa dikatakan kalah karena dari Indonesia sendiri tidak berhasil membasmi pemberontakan Aceh yang hanya mampu membawa ke meja perundingan.

Pemberontakan GAM (Gerakan Aceh Merdeka)


            Empat belas tahun setelah berakhirnya perlawanan DI/TII, Hasan Muhammad Di Tiroe juga memproklamirkan Aceh merdeka tepatnya pada tanggal 4 Desember 1976. Perjuangan ini tidak hanya menuntut kesejahteraan tetapi sudah lebih ekstrim dari itu. Aceh mengingikan lepas dari Indonesia dalam artian merdeka. Perjuangan ini sudah memasuki tahap baru dalam mendirikan sebuah negara, pihak GAM tidak hanya berjuang berperang di Aceh tetapi juga dilakukan perjuangan diplomasi di luar negeri.
            Menyikapi hal ini pemerintah Indonesia tidak tinggal diam, langkah-langkah untuk meredam pemberontakan Aceh dilaksanakan. Ini terbukti dengan diberlakukannya DOM (Daerah Operasi Militer) di Aceh pada masa Suharto hingga DM (Darurat Militer) pada masa kepemimpinan Megawati sebagai Presiden Indonesia. Kedua kebijakan ini tidak hanya memerangi GAM tetapi juga membuat rakyat Aceh mangalami kesengsaraan baik itu mental, pemerkosaan, pembunuhan terhadap rakyat sipil maupun pelangaran HAM lainnya.
            Tiga puluh tahun lamanya GAM memperjuangkan kemerdekaan Aceh, namun nyatanya permasalah Aceh juga berakhir di meja perundingan. Yang menjadikan kesepakatan bersama antara Aceh dan Indonesia yang dituangklan dalam MoU Helsingki pada tanggal 15 Agustus 2005. Dengan lahirnya perdamaian ini maka Aceh kembali merasakan seperti yang sebelumnya. Aceh tidak menang dan juga tidak kalah. Aceh diberi kebebasan membuat partai lokal dan juga hak otonomi khusus dan banyak lagi kesepakatn-kesepakatan yang dilahirkan dari MoU tersebut.

            Kini Aceh tidak lagi memberontak, tidak lagi menuntut kemerdekaan tetapi hanya memperjuangkan kesejahteraan. Aceh telah diberi hak berpolitik dalam partai lokal maupun partai nasional. Tugas generasi Aceh sekarang adalah memperjuangkan apa yang telah disepakati bersama dalam MoU, yang tujuan utamanya tentu untuk kesejahteraan bersama rakyat Aceh. Jangan sampai kejadian tidak kalah dan tidak menang juga terulang kembali didalam berpolitik yang telah diberi kebebasan untuk Aceh.